Rabu, 14 Desember 2011

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PRAKTI



Disampaikan pada Seminar National Campaign
Tanggal 12 Desember 2011
Di Hotel Horison Bandung




Oleh
PROF. DR. H. DASIM BUDIMANSYAH, M.Si.
Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Umum/Nilai
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia








PANITIA SEMINAR NATIONAL CAMPAIGN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2011


Pendahuluan
Dewasa ini kita merasakan adanya kecenderungan globalisasi dan gerakan demokratisasi yang sungguh-sungguh berpengaruh terhadap kehidupan manusia di mana pun berada. Dalam konteks globalisasi seperti itu, tak pelak lagi perlu dikembangkan program pendidikan yang mampu mengakomodasikan semua kecenderungan dari proses globalisasi itu, termasuk program pembangunan bangsa dan pembangunan karakter. Secara historis dan sosio-kultural pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kata-kata mutiara yang tertuang dalam berbagai dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan, seperti dalam naskah Sumpah Pemuda, Proklamasi, Pembukaan UUD 1945, serta yang tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pembangunan bangsa dan pembangunan karakter merupakan komitmen bangsa Indonesia yang harus diwujudkan sepanjang hayat.
Adalah Presiden Sukarno tokoh yang pertama kali melontarkan pentingnya masalah nation building ini dalam Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957. Presiden Sukarno melihat nation building sebagai fase kedua dalam revolusi Indonesia sesudah fase pertama yang dinamakan fase liberation, yaitu pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Permasalahan ini dikedepankan sebagai tanggapan terhadap keadaan Indonesia pada saat itu yang ditandai oleh makin kuatnya kecenderungan mengutamakan kepentingan kelompok, golongan, suku, agama, daerah, dan partai di atas kepentingan negara dan bangsa, dan makin lunturnya idealisme (Sukarno,1965:301). Pentingnya character building disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Ketika itu, character building  dikaitkan dengan nation building dan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda (Sukarno, 1965:498).
Di era ‘reformasi’, wacana pembangunan bangsa dan pembangunan karakter meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui Amandemen UUD 1945 dan keinginan untuk merestorasi Pancasila.  Akan tetapi, setelah hampir sewindu, kelihatannya harapan ini tidak begitu tampak, terkecuali pada aspek kebebasan berkespresi dimana kesempatan yang tersedia memang jauh lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa Orde Baru (Kalidjernih,2008:128). Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti nasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitalisasi cita sipil, khususnya melalui program pendidikan karakter.
Tantangan besar ke depan lainnya bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan budaya dan kehidupan demokrasi (cultural democracy) pada berbagai komponen masyarakat, mulai dari elit politik, para birokrat dalam sistem pemerintahan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas. Pembentukan struktur pemerintahan negara yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya kehidupan demokrasi yang semu (pseudo demokrasi) seperti yang pernah terjadi dalam sistem pemerintahan Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi sistem pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan negara dan masyarakat yang semakin demokratis.
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan instrumen  untuk mewujudkan komitmen nasional itu. Pada tataran kurikuler program integrasi pendidikan karakterpada semua subjek pembelajaran baik substansi, proses pembelajaran, maupun efek sosio-kulturalnya sengaja dirancang dan diprogramkan untuk mewujudkan program-program pendidikan yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Namun demikian pada beberapa tahun terakhir ini terdapat beberapa fenomena yang sangat memprihatinkan kita semua. Pertama, munculnya perilaku yang jauh dari nilai-nilai kepatutan yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti di jalanan. Kedua, dalam tiga dekade terakhir ini Indonesia tengah mengalami proses kehilangan, mulai dari kehilangan dalam aspek alam fisik, alam hayati, manusia, dan budaya. Dalam aspek alam fisik Indonesia telah kehilangan tanah subur kita. Luas tanah kritis di Indonesia pada tahun 2008 menurut perkiraan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI ditaksir 77,8 juta hektar. Tanah kritis ini diperkirakan akan terus bertambah satu juta hektar setiap tahunnya. Kita makin kehilangan hak guna tanah untuk perkebunan karena semakin banyaknya perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan di Indonesia. Dalam aspek alam hayati, kita telah kehilangan hutan tropis. Indonesia sekarang dikenal sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Kita juga kehilangan kekayaan alam yang berasal dari laut yang diambil secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun luar negeri. Dalam aspek manusia, Indonesia kehilangan daya saing. Dalam World Competitivness Scoreboard tahun 2007, Indonesia menempati peringkat 54 dari 55 negara, turun dari peringkat 52 pada tahun 2006. Kita kehilangan niat untuk menaati hukum, bahkan menaati aturan yang paling sederhana yaitu aturan berlalu-lintas (Raka,2008:3). Dalam aspek budaya kita sudah kehilangan kecintaan terhadap kesenian tradisional sebagai warisan budaya adiluhung bangsa. Sebagian dari kita sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Sudah sekian lamanya Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi di dunia. Celakanya predikat ini tidak membuat kita merasa malu dan korupsi nyatanya terus berlangsung dengan modus operandi yang berubah-ubah. Kita kehilangan rasa ke-Indonesiaan kita. Tampaknya kita makin menonjolkan kepentingan daerah dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Kita kehilangan cita-cita bersama (in-group feeling) sebagai bangsa. Tiada lagi “Indonesian Dream” yang mengikat kita bersama, yang lebih menonjol adalah cita-cita golongan untuk mengalahkan golongan lain.
Indonesia sudah kehilangan banyak hal dan kehilangan ini bukan tidak mungkin masih dapat berlangsung. Jika demikian daftar kehilangan tentu akan semakin panjang. Pertanyaannya, mungkinkah ini tanda-tanda kita akan meluncur ke arah kehilangan segala-galanya sebagaimana tersirat dalam kata-kata bijak berikut: You lose your wealth, you lose nothing; You lose your health, you lose something; You lose your character, you lose everything.Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita tidak menghendaki kehilangan karakter sebagai bangsa sehingga akan kehilangan segala-galanya. Oleh karena itu perlu mencermati dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak tersebut. Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca situasi reformasi ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini. Pertama, ada indikasi bahwa setelah lengsernya Pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan. Kedua, pasca reformasi terjadi perubahan pola konflik dari yang sifatnya vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah menjadi lebih bersifat horizontal, antara sesama rakyat kecil sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga seolah-olah kita menjadi  sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).
Pengembangan proses pembelajaran
Meminjam terminologi yang dipergunakan David Kerr (1999), pada saat menjelaskan isi dan modus Citizenship Education, maka proses pembelajaran pendidikan karakter hendaknya dilakukan secara inklusif pada pembelajaran semua mata pembelajaran di kelas, luar kelas, satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pengembangan proses pembelajaran yang demikian dimaksudkan untuk menghindarkan pendidikan karakter dari sifat yang eksklusif dimana upaya pembinaan karakter hanya dilakukan oleh mata pelajaran tertentu sementara pelajaran maupun program pendidikan lain di sekolah maupun luar sekolah termasuk di keluarga dan masyarakat tidak menyentuhnya sama sekali.
Kegiatan di kelas
Di kelas dapat dilakukan dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) maupun pelajaran lain. Khusus bagi PKn yang secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral hendaknya melahirkan dua dampak sekaligus, yakni dampak instruksional maupun dampak pengiring. Dampak instruksional adalah pengaruh langsung dari proses belajar dan pembelajaran yang biasanya dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Misalnya setelah peserta didik mempelajari topik demokrasi mereka dapat (1) mengidentifikasi dasar-dasar demokrasi (foundation of democracy) secara universal yang dapat diterima semua negara di dunia (ranah kognitif); (2) membedakan praktik demokrasi di berbagai negara berdasarkan latar belakang sejarah, ideologi, dan tujuan nasional masing-masing (ranah kognitif); (3) meyakini keunggulan sistem pemerintahan demokrasi dibandingkan dengan sistem pemerintahan otoritarianisme maupun sistem pemerintahan komunisme (ranah afektif); (4) menerapkan pola hidup demokratis dalam proses pengambilan keputusan (ranah psikomotor).
Dampak pengiring adalah pengaruh ikutan setelah peserta didik melakoni pengalaman belajar tertentu, seperti misalnya menjadi lebih peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya, menjadi lebih toleran terhadap pandangan yang beragam, lebih kreatif, dan inovatif. Dampak pengiring akan lahir jika dan hanya jika peserta didik memiliki pengalaman belajar (learning experience) optimal yang mampu merangsang seluruh potensi kognitif, afektif, dan psikomotor. Atas dasar pandangan demikian maka proses pembelajaran konvensional yang memposisikan peserta didik laksana botol kosong yang harus diisi ilmu pengetahauan dan pendidik bertindak sebagai satu-satunya sumber belajar, serta belajar hanya dibatasi oleh dinding kelas, tidak memberikan cukup pengalaman belajar. Pada konteks perlunya melahirkan dampak pengiring itulah kita mendambakan lahirnya model pembelajaraan inovatif dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada di kelas dan di luar kelas. Untuk keperluan contoh, kita ambil pengalaman para siswa kelas PKn (Civic Education) yang sedang belajar dengan Model Project Citizen dan hasilnya ditampilkan dalam Show-Case Internasional Project Citizen di Washington DC berikut ini (selengkapnya dalam Film The World We Want).
Healtier food in school (Tim USA)
Para siswa sekolah menengah dari kota Vancouver, USA ini menyadari adanya masalah berkenaan dengan makanan yang tidak sehat yang mereka konsumsi sehari-hari, termasuk yang terdapat di kantin sekolah. Mereka berasumsi bahwa makanan yang tidak sehat seperti itulah yang mengakibatkan semakin banyaknya orang Amerika yang kegemukan. Bukan hanya itu mereka pun mengkhawatirkan bahwa karena kebanyakan mengkonsumsi makanan yang mereka namakan Junk Food tersebut berbagai penyakit mematikan pun kerapkali muncul, seperti penyakit jantung koroner dan kanker. Selanjutnya mereka membentuk tim peneliti untuk melakukan survai guna memperoleh jawaban untuk memecahkan masalah tersebut. Mula-mula tim peneliti melakukan wawancara dengan ahli gizi sekolah untuk memperoleh jawaban bagaimana menyiapkan makanan sehat di sekolah, bukan Junk Food. Untuk memperoleh dukungan dari  masyarakat, tim peneliti pun melakukan wawancara dengan sejumlah anggota masyarakat dari berbagai kalangan. Hasilnya sungguh menggembirakan, hampir sebagian besar anggota masyarakat menyetujui gagasan untuk melarang kantin sekolah menyajikan Junk Food. Selanjutnya diadakan kunjungan terhadap pejabat dinas pendidikan setempat untuk memberikan dorongan agar mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat sekolah agar menyajikan makanan sehat. Proyek belajar ini sangat menarik karena memberikan pengalaman belajar lanngsung kepada para siswa. Dampak pengiring dari proses pembelajaran ini adalah melatih kepekaan siswa terhadap persoalan-persoalan yang terdapat di lingkungannya dan melatih keterampilan berpartisipasi.
Restore historic monuments (Tim India)
Para siswa dari India menyajikan proyek belajarnya dengan topik memperbaiki monumen bersejarah. Di kota tempat mereka tinggal, New Delhi terdapat sejumlah monumen bersejarah yang terlantar, tidak terawat dan sepertinya tidak ada pihak yang bertanggung jawab memeliharanya. Mereka kemudian mengunjungi sejumlah pejabat setempat yang diperkirakan memiliki kaitan dengan keberadaan monumen tersebut untuk meminta perhatiannya agar melakukan langkah-langkah untuk memperbaikinya. Namun jawaban tidak memuaskan tim peneliti, semuanya serba klise dan saling lempar tanggung jawab. Para pejabat daerah mengatakan bahwa tugas merawat dan memperbaiki monumen bersejarah berada di tangan pemerintah pusat. Selanjutnya tim melakukan wawancara dengan anggota masyarakat untuk memperoleh tanggapan tentang perlunya mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Umumnya mereka sependapat bahwa pemerintah mesti bertanggung jawab terhadap keberadaan monumen bersejarah tidak boleh menterlantarkannya. Para siswa justru memeberikan pemahaman lain bahwa dalam menghadapi persoalan seperti itu anggota masyarakat tidak boleh tinggal diam, harus bahu-membahu bersama pemerintah untuk memperbaiki monumen bersejarah yang terlantar itu. Selanjutnya tim melakukan kegiatan pembinaan pada anak-anak sekolah dasar untuk mencintai monumen bersejarah di daerahnya melalui lomba menggambar dengan objek monumen bersejarah. Melalui kegiatan ini para siswa belajar bagaimana menjadi bagian dari solusi bukan bagian dari persoalan. Sosok generasi muda yang demikianlah yang dapat menatap masa depan lebih optimis.
Acces to clean water (Tim Senegal)
Tim siswa  dari sebuah desa kecil Ross Bethio, Senegal ini mengajukan masalah kesulitan memperoleh air bersih. Mereka menyaksikan keadaan dimana masyarakat mengambil air untuk keperluan hidup sehari-hari dari sebuah kubangan air yang jaraknya sekitar 26 kilometer dari desa mereka. Disamping jaraknya yang jauh, sumber air itupun tidak sehat karena terkontaminasi oleh sampah dan kotoran hewan. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit, seperti kolera, kudis, dan penyakit kulit lainnya. Para siswa menyadari bahwa persoalan tersebut perlu dipecahkan dan selanjutnya mereka melakukan survai untuk mencari solusi terbaik. Pertama-tama tim peneliti berkunjung pada tokoh agama setempat untuk memperoleh dukungan. Selanjutnya mereka berkunjung kepada otoritas setempat untuk menanyakan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut. Para siswa memperoleh informasi bahwa pemerintah telah mulai membangun tower air untuk menyuplai air ke Ross Bethio, namun proyek tersebut terbengkalai dan tak kunjung selesai walaupun sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya dengan alasan tidak cukup dana. Untuk memberi tekanan kepada pemerintah setempat agar serius menyelesaikan pembangunan tower air, tim mengorganisasikan sebuah demontrasi damai yang diikuti seluruh siswa pada sekolah mereka menuju kantor otoritas Ress Bethio. Dengan kegigihan yang luar biasa dalam meyakinkan pemerintah bahwa solusi terbaik untuk memperoleh akses air bersih adalah penyelesian pembangunan tower air, akhirnya otoritas setempat memulai lagi mengerjakan proyek tersebut. Dari kegiatan ini para siswa memperoleh pengalaman belajar bahwa dengan kegigihan dan kerja keraslah sesuatu dapat diraih.
School violence (Tim Jordan)
Para siswa sekolah menengah di kota Al Karak, Jordan mengangkat topik untuk proyek belajar mereka adalah kekerasan di sekolah. Para siswa mengamati bahwa di daerahnya sering kali terjadi peristiwa tersebut, utamanya di sekolah dasar baik yang dilakukan oleh guru maupun oleh temannya di sekolah. Pertama-tama mereka melakukan survei ke sekolah-sekolah untuk memperoleh keterangan sekitar ada atau tidak adanya kekerasan di sekolah melalui serangkaian wawancara mendalam dengan para siswa. Selanjutnya tim menyebarkan angket kepada orang tua siswa untuk menjaring data mengenai kasus kekerasan di sekolah yang menimpa anak-anak mereka. Hasilnya sangat mengejutkan bahwa banyak dari orang tua kerapkali mendapatkan anak-anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar memperoleh perlakuan yang tidak semestinya dari gurunya terutama pada saat mereka diberi hukuman. Tim peneliti pun melakukan wawancara kepada anggota masyarakat untuk menggali pandangan masyarakat mengenai solusi apa yang dapat dipilih untuk memanggulangi kekerasan di sekolah tersebut. Dari kegiatan ini para siswa memperoleh keyakinan bahwa dalam memberikan hukuman perlu dipilih yang sifatnya mendidik (edukatif), tidak menggunakan hukuman fisik maupun nonfisik yang dapat menyaiki badan maupun jiwa anak. Disamping itu mereka pun belajar bagaimana memberi rasa empati kepada penderitaan orang lain. Siswa yang memperoleh hukuman fisik maupun nonfisik yang tidak mendidik akan mengalami luka hati maupun luka badan yang serius. Oleh karena itu dengan berempati mereka akan lebih memiliki kepekaan untuk memperlakukan orang lain lebih baik dan lebih manusiawi.

Underage gambling (Tim Russia)
Tim Russia berasal dari kota Samara, Russia bagian selatan. Mereka mengangkat tema perjudian di bawah umur yang cukup meresahkan setelah dibangunnya sebuah Casiono di kota tersebut. Para pelajar sekolah menengah dan bahkan sekolah dasar mulai banyak yang keranjingan permainan judi mesin yang terdapat di Casiono tersebut. Di luar jam sekolah banyak diantara siswa menghabiskan waktunya untuk bermain judi terutama selepas mereka pulang sekolah. Para orang tua umumnya tidak mengetahui perilaku anak-anaknya yang menyukai permainan judi mesin. Keadaan ini sangat membahayakan kelangsungan pendidikan anak bahkan yang lebih tragis lagi dapat membahayakan masa depan muda-mudi bangsa Russia sendiri. Langkah awal team melakukan observasi dan wawancara di lokasi Casiono yang melibatkan sejumlah pengunjung baik yang berjudi maupun yang hanya melihat-lihat saja. Berdasarkan temuan awal diperoleh keterangan bahwa anak-anak dibawah umur sudah banyak yang ketagihan berjudi. Mereka amenghabiskan uang jajan bahkan uang sekolah untuk berjudi. Banyak dari penjudi cilik itu sudah malas sekolah, mereka lebih banyak ‘nongkrong’ di Casiono. Selanjutnya team melakukan wawancara dengan sejumlah orang tua untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai merebaknya perjudian dibawah umur. Untuk memperoleh solusi terbaik mereka mewawancari Profesor Petrovic, guru besar Sosiologi. Atas masukan dari profesor tersebut team menyusun selebaraan yang isinya menjelaskan tentang bahaya perjudian di bawah umur dan menghimbau orang tua utuk mengawasi anak-anaknya agar tidak pergi ke Casiono. Tim juga beraudiensi dengan wali kota untuk mendesak agar mengeluarkan kebijakan publik melarang perjudian dibawah umur. Dari kegiatan itu para siswa belajar menempa diri sebagai warganegara yang cerdas dan peduli terhadap persoalan yang terjadi di lingkungannya.
Decrease taxation of silversmiths (Tim Indonesia)
Tim Indonesia yang berasal dari SMP swasta di Yogyakarta tertarik terhadap masalah semakin menurunnya produktivitas pengrajin perak di Kotagede Yogyakarta. Usaha mereka bukannya meningkat, namun semakin hari semakin menurun dan tentu saja kehidupan para pengrajin juga bertambah terpuruk. Para siswa selanjutnya membentuk tim peneliti untuk melakukan survai ke lokasi para pengrajin. Mereka dengan tidak mengenal lelah terus menggali informasi berkenaan dengan masalah yang dihadapi tersebut. Setiap pengrajin dimintai tanggapannya tentang mengapa produktivitas mereka semakin menurun dan kegiatan usaha bertambah tidak menggairahkan. Informasi juga diperoleh dari ketua kelompok pengrajin. Dari semua informasi yang mereka berikan dapatlah ditangkap esensinya bahwa faktor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% lah yang menjadi faktor utama menurunnya produksi perak Kotagede. Di negara tetangga para pengusaha ekonomi rakyat, termasuk pengrajin perak tidak dikenakan pajak pertambahan nilai sehingga mereka dapat mematok harga yang lebih bersaing dibandingkan dengan produk perak Indonesia. Akibatnya produktivitas pengrajin perak Kotagede semakin hari semakin menurun dan banyak yang berpindah profesi menjadi TKI di Malaysia. Untuk menemukan solusi atas persoalan ini tim mengadakan audiensi dengan DPRD setempat dan berbagai tokoh terkait. Dari pengalaman belajar ini para siswa memperoleh pelajaran tentang kewirausahaan dan kemandirian yang amat berharga sebagai bekal hidup kelak sebagai warganegara dewasa.
Inclusion of specials needs students (Tim Bosnia and Herzegovina)
Tim dari Bosnia dan Herzegovina berasal dari sekolah menengah di kota Brcko. Mereka mengangkat persoalan mengenai perlunya melayani siswa yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah biasa. Persoalan ini muncul karena dari adanya kenyataan bahwa para siswa yang berkebutuhan khusus, yang jumlahnya meningkat tajam pasca perang saudara tahun 1998,  tidak memperoleh kesempatan berkembang secara optimal pada sekolah-sekolah luar biasa baik karena jumlahnya yang tidak memadai maupun karena sifatnya yang eksklusif sehingga mereka sulit beradaptasi secara normal. Kesulitan muncul karena negaranya belum mempunyai aturan mengenai pendidikan inklusi, padahal pada sekolah mereka telah dirintis dan memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Untuk melaksanakan tujuan ini para siswa membuat petisi kepada pemerintah akan perlunya aturan tentang pendidikan inklusi. Agar memperoleh dukungan masyarakat mereka menggalang tanda tangan dari anggota masyarakat secara sukarela. Selanjutnya para siswa mengajukan petisi tersebut kepada pemerintah daerah setempat dengan cara mendatangi langsung kantor wali kota. Dari kegiatan ini para siswa belajar mengambil tanggung jawab sosial kemasyarakatan sebagai satu bentuk kompetensi kewarganegaraan demokratis.
Establish a community constitution (Tim Colombia)
Para siswa dari sekolah menengah di kota Alejandria, Colombia ini memilih persoalan seputar traumatik yang berkepanjangan akibat kekerasan bersenjata patahun 1998/1999. Dampak dari peristiwa kekerasan tersebut hingga saat ini membekas pada hati sanubari sebagian besar warga masyarakat, terutama pada anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena terbunuh dalam peristiwa tersebut. Di tengah-tengah masyarakat masih terdapat rasa curiga-mencurigai dari beberapa kelompok yang dahulu pernah bertikai. Oleh karena itu para siswa mempunyai gagasan untuk menyusun semacam konstitusi masyarakat setempat yang dipahami dan dilaksanakan bersama sebagai pedoman tingkah laku seluruh anggota masyarakat. Gagasan ini pertama-tama disampaikan kepada para tokoh masyarakat kota, baik yang berasal dari kalangan pemerintahan maupun tokoh-tokoh informal. Pada umumnya para tokoh itu menyambut baik gagasan para siswa dan mendorong mereka untuk merumuskan konstitusi sesederhana mungkin dan yang hanya mengatur hubungan antarkelompok masyarakat yang bebeda. Setelah para siswa berhasil merumuskannya maka dilakukanlah sosialisasi kepada berbagai lapisan masyarakat. Dari kegiatan ini para siswa belajar mengasah sikap inovatif dan kreatifitasnya sebagai suatu upaya mempersiapkan diri sebagai warganegara dewasa.
Pelajaran lain selain PKn tidak dapat lepas dari tanggung jawab untuk mengembangkan karakter siswa walaupun hanya sebatas melahirkan dampak pengiring. Rasionelnya adalah bukan semata-mata karena pendidikan karakter harus diselenggarakan secara inklusif namun daripada itu dan yang lebih bersifat inheren adalah karena alasan tanggung jawab keilmuan. Menurut pandangan filsafat ilmu, pada setiap disiplin melekat tiga unsur penting, yakni ontologi yang berkenaan dengan objek kajian; epostimologi yang berkaitan dengan metodologi atau cara-cara ilmu yang bersangkutan dikembangkan; dan aksiologi menyangkut manfaat ilmu itu sendiri bagi kehidupan. Sehingga amat logislah jika setiap pelajaran memiliki peran mengembangkan karakter peserta didik sebagai pengejawantahan unsur aksiologi. Berikut disajikan sejumlah contoh proses pembelajaran (di luar mata pelajaran PKn) yang memiliki dampak pengiring bagi upaya pengembangan karakter.
Sketsa 1: Bulu Tangkis
Contoh pertama ini berasal dari kelas XII di sebuah SMA di Indonesia yang sedang belajar Pendidikan Jasmani dan Olah Raga Kesehatan. Para siswa sedang mempelajari permainan bulu tangkis yang merupakan salah satu cabang olah raga favorit di Indonesia. Dalam skenario pembelajaran yang telah disiapkan guru topik tersebut akan dikaitkan dengan momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional (2008). Guru memulai pelajaran dengan menjelaskan teori-teori permainan bulu tangkis hingga pada jenis alat yang digunakan dan ukuran lapang. Selanjutnya para siswa diajak turun ke lapangan untuk mempraktikan semua teknik pukulan: service, fore hand, back hand, drop short, smash, lob, pukulan silang, dan sebagainya. Para siswa amat menikmati pelajaran tersebut dan tidak terasa dua jam pelajaran itu hampir saja berlalu.
Sebelum pelajaran berakhir para siswa terlebih dahulu diajak melakukan refleksi. Guru memulai merefleksi kegiatan belajar dengan mengajak para siswa mengenang masa kejayaan buku tangkis Indonesia, seraya berkata “beberapa belas tahun silam bulu tangkis pernah mengangkat nama Indonesia di pentas dunia. Ketika Rudy Hartono menjurai All England selama delapan kali mata dunia tertuju pada Indonesia. Tatkala lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan dan Merah Putih dikibarkan ribuan pasang mata yang berada di All England Arena dan berjuta lagi yang menyaksikan pada layar kaca televisi, semuanya tertegun kagum akan prestasi Indonesia. Ketika Susi Susanti dan  Alan Budi Kusumah mengawinkan medali mas olimpiade berratus juta pasang  mata menyaksikannya dengan detak kagum luar biasa, Indonesia menorehkan tinta mas prestasi di pentas dunia. Namun sekarang kubu bulu tangkis kita sedang mengalami kemunduran dan sepi prestasi. Dalam momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional ini mari kita bangkit”, demikian guru olah raga itu menegaskan dengan nada suara yang amat bersemangat.
Ia mengakhiri refleksinya dengan membacakan sebuah puisi yang berjudul BANGKIT yang sempat dipopulerkan oleh aktor senior, Deddy Mizwar.

BANGKIT
Bangkit itu susah, susah melihat orang susah, senang melihat orang senang
Bangkit itu takut, takut korupsi, takut mengambil yang bukan haknya
Bangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dengan prestasi
Bangkit itu marah, marah ketika martabat bangsa diinjak
Bangkit itu malu, malu menjadi benalu dan meminta-minta
Bangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerah
Bangkit itu aku, INDONESIAKU

Sketsa 2: Hutan Hujan
Contoh kedua berasal dari satu kelas siswa umur 13 tahun yang sedang belajar geografi di Kanada. Para siswa geografi tersebut sedang mempelajari hutan hujan dunia dan telah mengetahui bahwa hutan hujan memainkan peranan penting dalam mengatur iklim dunia dan hutan tersebut memiliki banyak flora dan fauna yang barharga dan unik. Mereka juga mengetahui bahwa hutan hujan ditebang dengan jumlah besar dan, dengan rasa percaya diri anak umur 13 tahun, mereka cepat menarik kesimpulan bahwa ini adalah satu tindakan yang egois dan tidak dipikirkan pada sebagian orang di negara-negara yang terlibat. Apa yang para siswa tersebut tidak pikirkan adalah bahwa orang-orang yang menebang hutan hujan melakukannya bukan karena mereka gila atau egois, tetapi karena sering mereka memiliki sedikit pilihan. Kemiskinan, kebutuhan akan tanah, pola-pola perdagangan internasional, dan pembangunan ekonomi memaksa semuanya dipergunakan untuk meningkatkan tekanan pada hutan hujan. Guru para siswa tersebut menjelaskan bahwa Kanada telah merusak sebagian besar hutannya sendiri, dan memang terus dilakukan, dan memberi kesan bahwa standar hidup yang dimiliki orang Kanada dikaitkan dengan kerusakan hutan hujan di negara-negara lain. Karena para siswa menyerap informasi ini dan memikirkannya, guru tersebut juga menyatakan bahwa mungkin orang-orang Kanada dan yang lainnya harus membayar pajak hutan hujan, katakanlah pada kopi, produk-produk kayu impor, dan daging sapi yang murah yang tumbuh di padang rumput hutan hujan yang dikosongkan untuk restoran siap saji agar hutan hujan terlindungi. Ini menyebabkan diskusi siswa jadi lebih jauh. Para siswa tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi mereka telah didorong untuk memikirkan dari beberapa tantangan yang mereka hadapi sebagai warga negara, dan melakukannya dengan cara-cara yang pantas untuk usia dan tingkat kematangan mereka.
Contoh sehari—hari ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai karakter dapat dimasukkan ke dalam kelas. Para siswa tersebut dibimbing untuk memikirkan masa sekarang dalam konteks masa lalu dan masa yang akan datang, memikirkan bagaimana keseharian mereka, kehidupan pribadi yang berhubungan dengan masalah yang jauh lebih besar; dan bagaimana kehidupan mereka di Kanada, bermil-mil jauhnya dari hutan hujan, tidak sedikit yang masih melibatkan mereka dalam masalah dunia tersebut.
Sketsa 3: Perkembangan sejarah konflik antarumat tiga agama
Contoh ketiga berasal dari pelajaran yang diberikan oleh seorang guru sejarah dunia di Asia. Tidak lama sebelum memulai bagian tentang perkembangan sejarah agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, pembunuhan Perdana Menteri Israel Rabin terjadi. Guru tersebut membawa masuk laporan surat kabar dan klip berita TV, dengan menggunakan kesiapan dari peristiwa, artikel dan berita untuk membuat konteks untuk memahami perasaan yang mendasari konflik diantara dan di dalam agama-agama ini. Secara normal, hal tersebut akan menjadi satu tantangan yang besar untuk mengajarkan tentang agama-agama ini pada satu kelas siswa yang berumur dua puluh lima, dimana hanya 10 persen atau kurang yang memiliki pengetahuan pribadi tentang agama Nasrani, Yahudi, dan Islam dan dimana mayoritas siswanya tidak memeluk agama yang ada. Tetapi, dengan membubuhkan pelajaran tiga agama tersebut pada peristiwa dan orang yang sebenarnya dalam berita, keabstrakan dan jauhnya pelajaran tersebut sangatlah dikurangi. Peristiwa baru-baru ini memberikan satu katalisator untuk penelitian dan diskusi siswa tentang ketiga agama tersebut. Setelah memberikan tinjauan pada peristiwa-peristiwa yang melingkungi pembunuhan tersebut dan peran pokok dari kota Yarusalem (yaitu arti sejarah dan agamanya), guru tersebut memperkenalkan sumber sejarah dari ketiga agama tersebut dan mendorong pra siswa untuk menggali persamaan dan perbedaan diantaranya. Guru tersebut kemudian meminta para siswa untuk berspekulasi tentang implikasi dari pembunuhan tersebut untuk peristiwa-peristiwa yang akan datang di Timur Tengah, kemungkinan resolusi damainya, dan implikasi global dengan tidak memilih resolusi damai untuk mengatasi konflik.
Dalam contoh ini, guru tersebut menggunakan peristiwa yang baru-baru terjadi untuk memberikan konteks untuk pertimbangan dan pemikiran siswa yang berarti tentang konflik yang sangat berakar dalam sejarah. Faktanya bahwa pembunuhnya dalam hal ini adalah yang seagama dengan Rabin, Yahudi, hanya menambah intensitas debat. Pada khususnya, peristiwa yang baru-baru terjadi memberikan satu kesempatan untuk pengembangan kecerdasan partisipatoris, karena para siswa tersebut terdorong untuk menggali sistem kepercayaan/etika dan membandingkannya dengan yang mereka miliki, seperti terdorong secara rohaniah melintasi waktu dan ruang.
Sketsa 4: Persoalan Kemiskinan
Contoh keempat berasal dari kelas Bahasa Inggris SMP dengan siswa berumur 10 dan 11 tahun yang sedang belajar tentang persoalan kemiskinan. Gurunya dalam skenario ini merencanakan serangkaian kegiatan antar cabang ilmu pengetahuan selama setahun untuk membantu anak-anak mempelajari kemiskinan di negara-negara berkembang, seperti di masyarakat mereka sendiri. Di dalam kelas, para siswa tersebut bagaimana kemiskinan ditangani di masa lalu dan sekarang—melalui kesukarelaan warga negara, kelompok-kelompok warga negara dan gereja dan program-program pemerintah. Sebagai satu kegiatan kelas, para siswa tersebut membuat collages (susunan benda-benda dan potongan-potongan kertas dan sebagainya yang ditempelkan pada bidang datar dan merupakan satu kesatuan karya seni) yang menggambarkan kondisi dimana anak-anak di seluruh dunia tinggal. Para siswa tersebut kemudian menyajikan collages mereka di malam orang tua untuk mengangkat kesadaran dan menambah keprihatinan atas apa yang anak-anak butuhkan. Sepanjang tahun, para siswa tersebut juga ikut serta dalam berbagai proyek yang berorientasi pada pelayanan. Di musim gugur, para siswa mengumpulkan barang-barang dari kaleng dan barang-barang yang tahan lama dari para siswa dan guru di sekolah mereka sendiri, mengumpulkan ‘paket perduli’ mereka dan mendistribusikannya di tempat penampungan tuna wisma lokal dan kepada keluarga yang membutuhkan. Selama bulan-bulan musim dingin, para siswa bergantian menyajikan sup dan sandwich (roti lapis) pada para manula.
Para siswa juga meneliti persoalan kemiskinan di seluruh dunia dengan melakukan penelitian mereka sendiri dan membuat satu ‘indeks kualitas hidup’ yang menggambarkan kondisi kehidupan menurut daerah geografis utama. Setelah selesai, kelas memilih satu daerah tertentu, Afrika, untuk penelitian lebih lanjut. Dalam satu usaha untuk menyumbang kebutuhan anak-anak Afrika yang telah dipelajari, para siswa tersebut mencari buku-buku bekas yang masih bagus di rumah dan komunitas mereka untuk mendukung prakarsa buku untuk Afrika yang telah mereka pelajari dari penelitian mereka sendiri. Pemikiran pribadi tentang masalah kemiskinan dicatat oleh para siswa di buku catatan mereka sendiri. Dengan cara ini, para siswa tersebut mampu memproses pikiran dan perasaan mereka yang berkenaan dengan apa yang mereka pelajari melalui kegiatan-kegiatan yang mereka ikuti. Gurunya juga mengadakan tanya-jawab tiap kegiatan melalui diskusi-diskusi kelompok kecil dan besar.
Sepanjang penelitian selama setahun ini, para siswa menjadi sadar dan membantu yang lain untuk sadar akan kemiskinan. Siswa-siswa tersebut menghasilkan satu etika keprihatinan dan tanggung jawab sosial pribadi dan menangani stereotip-stereotip yang berhubungan dengan kemiskinan, mengetahui bahwa orang-orang dalam masyarakat mereka sendiri seperti di negara-negara lain memiliki kebutuhan yang serius. Tambahan lagi, para siswa tersebut belajar berinteraksi dan bekerja sama dengan orang-orang dengan berbagai usia dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Sketsa 5: Polusi udara
Contoh kelima diambil dari pelajaran penelitian sosial yang diajarkan di dalam satu unit yang berjudul Persoalan-persoalan Sekarang. Dalam unit ini, satu kelas pelajar Asia meneliti topik lingkungan melalui penggunaan teknologi dan instruksi berdasarkan pengalaman. Untuk mengajukan masalah mutu lingkungan, dengan satu penekanan tertentu pada polusi udara, gurunya mempergunakan bencana ekologi yang disebabkan oleh kebakaran pada bulan Agustus-September 1997 yang terjadi di Asia Tenggara. Sebab dan akibat polusi udara dipelajari dengan cara antara cabang ilmu pengetahuan melalui penggunaan dokumen-dokumen global para siswa dan guru mendapat kembali terutama dari internet. Internet juga digunakan untuk menghubungkan para siswa ke kelas-kelas di negara-negara yang paling dicemari oleh bencana polusi udara: Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Melalui internet, para siswa mengadakan dialog tentang peristiwa ekologi pada waktu yang sedang berlangsung, bertukar informasi dan opini. Setelah membicarakan lintas batas geografi dan budaya, para siswa mengetahui bagaimana indeks polusi udara lokal mereka terbentuk, mendengarkan pembicaraan dari seorang guru ilmu pengetahuan mengenai masalah-masalah pengukuran, dan mengadakan perjalanan baik ke agen perlindungan lingkungan maupun ke salah satu stasiun pengukuran lokal mereka. Setelah mengadakan penelitian sendiri dalam berbagai keadaan yang diadakan oleh organisasi pemerintah dan non-pemerintah mengenai masalah tersebut, para siswa memainkan peran satu pertemuan para pembuat kebijakan yang berusaha mengatasi krisis ekologi tersebut. Kemudian mereka menulis di kertas posisi mereka sendiri tentang bagaimana masalah-masalah polusi udara seharusnya ditangani dan mempresentasikan catatan mereka pada komunitas lokal mereka.
Kegiatan di luar kelas
Pembinaan karakter siswa jangan hanya dilakukan di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung, melainkan harus dilanjutkan di luar kelas melalui kegiatan pembiasaan hidup berkarakter. Program inklusi yang dilakukan semua mata pelajaran di kelas tampaknya perlu dilanjutkan hingga di luar kelas dengan cara melakukan pembagian tanggung jawab pembinaan perilaku untuk setiap mata pelajaran. Beberapa contoh berikut dapat dijadikan sekedar model pembagian tanggung jawab dimaksud.
a.      Guru PKn berkonsentrasi untuk membina siswa agar berperilaku tertib pada saat mengikuti upacara bendera. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman makna upacara bendera, mengawasi pada saat pelaksanaannya, hingga berpartisipasi dalam melatih petugas upacara bendera.
b.      Guru Pendidikan Agama berkonsentrasi untuk membina siswa agar taat melaksanakan ibadat di sekolah. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah menjadi teladan dalam menjalankan ibadat di sekolah, menyiptakan suasana kondusif bagi pelaksanaan ibadat di sekolah, dan sebagainya.
c.       Guru Biologi berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kesadaran lingkungan, seperti tidak membuang sampah sembarangan; tidak mencoreti bangku, dinding sekolah, dan dinding WC; tidak mengganggu tanaman, bunga, dan pohon. Tindakan nyata yang dapat dilakukan adalah mempelopori pembuatan taman sekolah dimana setiap kelas memiliki taman binaannya masing-masing; mengawasi kebersihan kelas dan lingkungan; dan sebagainya.
d.     Guru Fisika berkonsentrasi terhadap upaya pengembangan daya kreatifitas siswa. Tindakan nyata yang haraus dilakukan adalah mengubah gaya mengajarnya yang deduktif pada gaya mengajar yang induktif. Kreatifitas akan muncul mengikuti gaya induktif dimana para siswa dibiasakan memecahkan suatu persoalan dari data yang disajikan bukan sebaliknya pembelajaran diawali dari menghafal hukum atau dalil.
e.      Guru Sosiologi berkonsentrasi untuk membina siswa agar pandai bergaul dan beradaptasi di sekolah. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah mengawasi pergaulan siswa di sekolah, utamanya kelompok-kelompok teman sebaya jangan sampai muncul geng-geng yang destruktif seperti geng motor.
f.        Guru Ekonomi berkonsentrasi terhadap upaya pembinaan siswa agar menjadi insan yang jujur dan memiliki jiwa kewirausahaan. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah menggagas berdirinya Kantin Kejujuran dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memupuk jiwa kewirausahaan.
g.      Guru Pendidikan Jasmani dan Olah Raga Kesehatan berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kepeduliaan terhadap kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungannya. Tindakan nyata yang perlu dilakukan seperti menggagas perlombaan usaha kesehatan sekolah, kompetisi olah raga kesehatan, dan sebagainya.
h.      Guru Matematika berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kekonsistenan penalaran logis-matematis, berbahasa yang tidak ambigo—istilah, ungkapan, definisi, pernyataan. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah membuat terobosan-terobosan program tentang keberguaan matematika di luar matematika—dapat dipakai untuk kebutuhan ilmu dan pengetahuan lain.
i.        Guru bahasa Indonesia berkonsentrasi terhadap upaya membina siswa agar mahir berbahasa Indonesia baku, berbahasa santun, dan sebagainya. Tindakan nyata yang dapat dilakukan seperti menyekenggarakan bulan bahasa yang diisi dengan berbagai perlombaan berbahasa yang baik.
Kegiatan di satuan pendidikan
Berbagai kegiatan pada level satuan pendidikan hendaknya tidak steril terhadap pembinan karakter siswa, misalnya ekstrakurikuler, bazar sekolah, bakti sosial, karyawisata ke tempat-tempat yang dapat mengembangkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Bagi PKn sendiri misalnya, ekstrakurikuler itu dapat dijadikan wahana sosio-paedagogis untuk mendapatkan hands-on experience. Dari kegiatan ini diharapkan ada kontribusi signifikan untuk menyeimbangkan penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku berkarakter. Selain itu kegiatan ekstrakurikuler dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian peserta didik  dan sarana untuk mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
Berikut disajikan tiga jenis ekstrakurikuler (ekskul) di ang amat erat kaitannya dengan upaya PKn dalam mengembangkan karakter bangsa.
Pramuka
Pada masa lalu ekskul Pramuka demikian semarak berkembang di setiap sekolah di seluruh pelosok tanah air. Dari sejumlah kegiatan yang dimahiri dalam ekskul Pramuka dapat menjadi sarana untuk pemerolehan sejumlah karakter, misalnya dalam konteks kehidupan demokratis daan sadar hukum (Tabel 4.1).

Tabel 4.1  Pengembangan karakter warganegara demokratis dan sadar hukum melalui Pramuka
No
Kegiatan
Karakter yang Dikembangkan
Warganegara Demokratis
Sadar Hukum
1
Mempelajari sejarah kepanduan
Menonjolkan nalar dan akal sehat
Kesadaran untuk menaati kaidah hidup
2
Perkemahan
Kerjasama dan mengutamakan kepentingan bersama
Patuh pada aturan setempat, termasuk kebiasaan-kebiasaan setempat.
3
Perlombaan (games)
Semangat berkompetsisi yang sehat
Menaati aturan main, sikap kesatria, dan sportif
4
Mempelajari tertib berlalu-lintas
Menjaga keselamatan diri dan orang lain
Santun berlalu lintas dan berkendaraan di jalan raya
5
Penjelajahan dan hidup di alaam bebas
Meningkatkan kemandirian sekaligus merapatkan persatua, kesaatuan, dan kerjasama tim
Membina disiplin pribadi dan kelompok
6
Hiking
Meningkatkan solidaritas dan kebersamaan
Taat asas, disiplin, dan mampu mengendalikan diri
7
Pemilihan pratama
Melakukan musyawarah untuk mufakat, semangat kekeluargaan
Secara moral bertanggung jawab melaksanakan hasil musyawarah
8
Latihan kepemimpinan
Mengasah kemampuan manajerial
Menanamkan kejujuran dan tanggung jawab

Paskibra
Ekskul yang prkembangannya sangat pesat ini, utamanya pada jenjang sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, keberadaannya sangat penting bagi peningkatan pemerolehan dampak pengiring pembelajaran PKn terutama dalam pembinaan semangat nasionalisme dan patriotisme. Berikut disajikan beberapa contoh karakter yang dapat dikembangkan melalui ekskul Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra).
Tabel 4.2 Pengembangan karakter warganegara yang memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme melalui Paskibra
No
Kegiatan
Karakter yang Dikembangkan
Semangat Nasionalisme
Semangat patriotisme
1
Pengetahuan organisasi
Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia
Rela berkorban untuk kejayaan negara-bangsa Indonesia
2
Tata Upacara Bendera (TUB)
Mengutamakan kepentingan bersama
Menghormati jasa para pahlawan bangsa
3
Pearaturan baris Berbaris (PBB)
Dapat bekerjasama dalam tim
Disiplin dan tahan uji
4
Perlombaan (games)
Menggalang persatuan dan kesatuan
Pantang menyerah

Palang Merah Remaja
Palang Merah Remaja (PMR) merupakan ekskul yang berusaha membina karakter peserta didik agar memiliki jiwa rela berkorban dan kesetiakawanan. Oleh karena itu keberadaannya sangat signifikan dan dapat menjadi wahana sosio-paedagogis PKn. Berikut disajikan beberapa karakter peserta didik yang dapat dikembangkan melalui ekskul PMR.

Tabel 4.1 Pengembangan karakter warganegara yang memiliki jiwa rela berkorban dan kesetiakawanan sosial melalui PMR
No
Kegiatan
Karakter yang Dikembangkan
Jiwa Rela Berkorban
Kesetiakawanan Sosial
1
Pemahaman janji dan prinsip PMR
Mengembangkan rasa ketulusan dalam bekerja
Mengembangkan sikap tepo seliro atau tenggang rasa
2
Latihan penanggulangan bencana
Melatih semangat  gemar membantu orang lain yang kessusahan (altruisme)
Melatih semangat kebersamaan, tidak egois
3
Bakti sosial
Gemar membantu orang lain yang kesusahan (altruistik)
Mengutamakan kepentingan umum
4
Perlombaan (games)
Memupuk semangat berbagi dengan sesama
Memupuk solidaritas

Kegiatan di keluarga
Pendidikan keluarga tidak dapat dijangkau oleh guru maupun sekolah sebab merupakan otoritas masing-masing keluarga, namun dapat diintervensi melalui pengembangan pedidikan interventif antara sekolah dan keluarga. Dalam pengertian sempit pendidikan interventif adalah pendidikan untuk beragama dalam arti yang sebenarnya yang dilakukan pada lingkungan pendidikan informal, meliputi pemantapan keyakinan (aqidah), melaksanakan peribadatan baik ritual maupun pemahaman kaidah (ibadah) serta pelaksanaan dan implementasi dari pemahaman arti ibadah yang berbentuk pelaksanaan perbuatan terhadap lingkungannya (muamalah). Jika kita definisikan secara luas  pendidikan interventif merupakan pendidikan untuk membina karakter yang dilakukan pada lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai kelanjutan dari pembinaan pada satuan pendidikan (sekolah, madrasah, perguruan tinggi, satuan pendidikan nonformal, media massa, dan sebagainya).
Bagaimana pendidikan interventif antara sekolah dan keluarga dilaksanakan? Hakikat pendidikan interventif antara sekolah dan keluarga adalah adanya dinamika proses hubungan sekolah (khususnya guru) dengan keluarga dalam kerangka membina karakter peserta didik. Misalnya seorang guru PKn sedang membina karakter ‘peduli’ di sekolah akan menemui kesulitan untuk berhasil jika proses yang terjadi di keluarga tidak kondusif atau bahkan menegasi pembinaan di sekolah. Contohnya seseorang anak kita sebut saja misalnya Si Fulan hidup dalam lingkungan keluarga modern-sekular. Orang tuanya supersibuk sehingga kepeduliannya satu-sama lain di keluarga amat kurang. Orang tuanya sering kali pulang setelah si Fulan tertidur di malam hari dan mereka sering kali berangkat kerja sebelum Si Fulan bangun di pagi hari. Pada kesempatan lain Si Fulan justru hidup berhari-hari hanya ditemani pembantunya karena ayahnya maupun ibunya mendapatkan tugas luar kota.
Menyadari kondisi demikian guru PKn memberikan tugas terstruktur kepada Si Fulan berupa sejumlah pertanyaan yang harus dikerjakan bersama orang tuanya. Pertanyaan tersebut misalnya (1) berapa kali dalam seminggu kalian menceritakan pengalaman belajar di sekolah kepada ibu di rumah?; (2) berapa kali kepada ayahmu? (3) berapa kali dalam seminggu ibu kalian menemani mengerjakan PR di malam hari?; (4) bagaimana dengan ayah kalian?; dan sebagainya. Jenis pertanyaan yang dikembangkan sengaja digunakan untuk mengintervensi proses pendidikan yang tidak kondusif di keluarga. Targetnya adalah ayah dan ibu Si Fulan yang amat kecil kepeduliannya terhadap anaknya sendiri. Dengan rangsangan pertanyaan tersebut diharapkan akan terjadi dialog dalam batin orang tua Si Fulan tentang hak anaknya untuk diperhatikan dan tentang kewajibannya untuk memperhatikan anaknya itu. Dari perspektif pendidikan jika seseorang diberi rangsangan positif secara berkala dan berkesinambungan, maka lambat laun ia akan meresspon secara positif pula. Dapat Anda bayangkan bagaimana jadinya jika guru tidak mengintervensi proses pendidikan yang buruk di lingkungan keluarga. Tentu saja upaya guru ibarat menabur pasir di gurun Sahara tidak akan terasa dampaknya.
Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan berlangsung dari lahir sampai dewasa yakni sampai seorang anak dapat berdiri sendiri, dapat menentukan mana yang baik dan buruk, serta dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Sejumlah ahli pendidikan mengidentifikasi ciri-ciri kedewasaan itu diantaranya adalah memiliki kemantapan emosi, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan makin mantap, sanggup memenuhi dan hak kewajiban kelompok sepenuhnya, menyadari kekurangan diri yang harus ditingkatkan untuk menyempurnakannya, telah mencapai internalisasi perbuatan moral yakni kemampuan menghayati dan mengamalkan nilai moral dan nilai sosial. Karena demikian beratnya tugas mendidik anak itu mencapai kedewasaan, maka tiada jalan lain kecuali secara sinergi harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
Kegiatan di masyarakat
Proses pendidikan yang berlangsung di masyarakat modern yang paling menonjol adalah melalui media massa. Pengaruh media massa begitu penting bagi kehidupan, termasuk terhadap dunia pendidikan. Berbagai persoalan pendidikan tidak dapat semuanya diselesaiakan oleh sistem pendidikan pada satuan pendidikan, melainkan perlu menyertakan sistem media massa. Perhatikanlah bagaimana masyarakat kita dewasa ini lebih tersihir oleh infotainment yang ditayangkan televisi daripada pengaruh para guru. Perhatikan pula bagaimana anak lebih menyukai bermain game atau membuka situs pertemanan di internet dibandingkan dengan membaca buku. Fenomena itu menunjukkan bahwa media massa begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat modern, ketimbang pengaruh pendidikan yang berlangsung pada satuan-satuan pendidikan.
Jika demikian bagaimana sikap terhadap media massa, apakah harus kita musuhi? Memusuhi media massa sudah tidak zamannya lagi karena ia pun memiliki sisi yang positif. Media massa memang merupakan pisau bermata dua. Mata yang satu sangat tajam dan dapat memberikan pengaruh buruk bagi penggunanya. Maka, jika menggunakan mata ini akan menyebabkan seseorang bertindak kontraproduktif. Namun, mata sebelahnya terasa begitu lembut dan menyenangkan. Oleh karena itu jika menggunakan media massa dari sisi ini masyarakat akan menjadi bertambah produktif, meningkatkan harkat dan martabat, bahkan dapat mengembangkan karakater.
Bagaimana cara guru memandu para siswa agar mampu memilih media massa dari sisi yang lembut dan menyenangkan? Guru dapat menggunakan pendidikan interventif antara sekolah dan mediaa massa. Intinya adalah bahwa media massa tidak dapat lagi dijauhkan dari kehidupan modern, maka satu-satunya cara guru hendaknya mengintervensi media massa agar menjadi sumber belajar yang produktif. Kita ambil contoh ‘Sinetron Cinta Fitri’ yang ratingnya sangat tinggi, sehingga terus dibikin serialnya hingga bertahun-tahun. Padahal tayangan tersebut memiliki sisi buruk yaitu berlarut-larutnya tokoh baik (Fitri) dirundung duka dan nestapa, sedangkan tokoh jahat (Miska) terus-menerus memperoleh berbagai kemujuran. Mengapa hal ini buruk? Albert Bandura pernah melakukan eksperimen terhadap dua kelompok siswa dimana kepada kelompok pertama selalu disajikan tayangan film yang pada setiap akhir episodenya ‘hero’ selalu tidak mujur, seperti disiksa, dimasukan kedalam penjara, keluarganya diterlantarkan, dan sebagainya. Pada kelompok kedua disajikan tayangan yang berbeda dimana ‘hero’ pada setiap akhir episode selalu mujur, mendapatkan penghormatan, disegani orang banyak, dan keluarganya pun hidup sejahtera. Pada akhir eksperimen kedua akelompok siswa itu dites daya kreativitasnya. Hasilnya kelompok pertama amat rendah daya kreativitasnya, sebaliknya kelompok kedua sangat tinggi. Jadi tayangan seperti itu perlu diintervensi guru agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi karaakter peserta didik. Misalnya guru secara sengaja ingin menangkal pengaruh buruk dari sinetron tadi dengan memberikan tugas terstruktur yang berisi pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Coba kalian saksikan sinetron Cinta Fitri nanti malam dan jelaskan mengapa Miska disebut tokoh antagonis?; (2) layakah dia selalu memperoleh keberuntungan padahal perilakunya sangat buruk?; (3) sebaliknya Fitri sebagai sosok orang baik selalu dirundung duka nestapa, dicelakai oleh Miska secara terus-menerus, apakah ia pantas memperoleh perlakuan tersebut?’ (3) bagaimana akhir cerita sinetron tersebut jika kalian sendiri yang menjadi sutradaranya? Pancingan pertanyaan tersebut diharapkan mampu menggetarkan aspek afektual peserta didik untuk mampu memilih dan memilah pengaruh terpaan media massa, tidak mudah terkena pengaruh buruk.

Daftar Rujukan Utama:
Bellah, R. et.al. (1999). The Good Society, New York: Vintage Books.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education, A Fortcoming Education Policy Task Force Position Paper From the Communitarian Network.
               Budimansyah, D. (2004). Membangkitkan Karsa Umat, Bandung: Penerbit Genesindo Pustaka Utama.
Budimansyah, D. (2007). “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.
Budimansyah, D. (2008). “Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.179-198.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press.
Etzioni, A. (1993). The Spirit of Community: The Reinvention of American Society, New York: Simon and Schuster.
Fromm, E. (1997). Lari Dari Kebebasan, penerjemah Khamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, A. (1998). The Third Way: The Renewal of Social Democracy, London: Polity Press.
Kalidjernih, F.K. (2008). “Cita Sipil Indonesia Pasca-Kolonial: Masalah Lama, Tantangan Baru”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.127-146.
Lickona, T. 1992.Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Simon & Schuster, Inc.
Lickona, T. 2004.Character Matters: How to Help Our Children Develop
Ohmae, K. (1996). The End of Nation State: The Rise of Regional Economies, London: Harper Collins.
Ohmae, K. (1999). Borderless World: Power and Strategy In The Interlinked Economy, London: Harper Collins.
Parker,W.C., Nomiya, A., and Cogan, J. (1999). Educating World Citizen: Toward Multinational Curriculum Development, Washington: University Washington Press.
Raka, I.I.D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.
Soepardo, dkk. (1960). Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics), Jakarta: Departemen PP Dan K.
Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Wirutomo, P. (2001). Membangun Masyarakat Adab, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap Dalam Bidang Sosiologi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar