Rabu, 14 Desember 2011

UN antara harapan dan kenyataan

UJIAN NASIONAL
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN


Djemari Mardapi *)














*) Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
    Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan

A.   Pendahuluan
Asesmen merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran peserta didik di satuan pendidikan. Peranan  asesmen menurut Harlen, Gipss, Broadfoot & Nutnall (Pollard, edited, 2011:283) adalah  sebagai umpan balik bagi pendidik dan peserta didik akan kemajuan belajar yang dicapai.  Umpan balik ini mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas pengalaman belajar peserta didik, apabila pendidik memanfaatkan umpan balik tersebut untuk perbaikan dalam mentukan strategi pembelajaran peserta didik. Asesmen yang bertujuan memperbaiki proses pembelajaran   disebut  sebagai asesmen formatif atau assessment for learning.    Hal ini ditegaskan pada Undang-Undang No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional  pasal  58 ayat (1): evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.  Asesmen formatif ini dilakukan pendidik secara kontinu di kelas dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Peranan asesmen yang ke dua adalah untuk mengetahui performans peserta didik sebagai individu. Asemen ini menurut Harlen, Gipss, Broadfoot & Nutnall (Pollard, edited, 2011:285)  tidak banyak pengaruhnya terhadap perbaikan pembelajaran pada peserta didik, karena dilakukan di akhir tahun belajar di satuan pendidikan, Namun apabila hasil asesemen dianalisis dan digunakan untuk perbaikan proses pembelajaran pada tahun berikutnya, maka asesmen sumatif ini   memiliki pengaruh terhadap kualitas pendidikan.  Hal ini ditegaskan oleh Horn, Wolf, and Velez 1992) bahwa hasil asesmen nasional bisa digunakan untuk mengubah proses pembelajaran  di kelas. Salah satu bentuk  asesmen nasional adalah ujian nasional.
Undang-Undang No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan  Nasional  pasal  58 ayat (2) evaluasi peserta didik, satuan pendidkan  dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara  besrkala, menyeluruh, transparan, dan suistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Asesmen dengan tujuan ini disebut dengan asesmen sumatif atau asssessment of learning. Asesmen sumatif merupakan tingkat keberhasilan pendidik mengajar dan peserta didik belajar, dan merupakan pertanggungjawaban satuan pendidikan terhadap tugas mendidik peserta didik.
Kompetensi  peserta didik harus mendapat pengakuan  dari pihak eksternal seperti orang tua, masyarakat, pihak pengguna, dan politisi. Untuk itu, yang melakukan asesemen  sumatif, salah satunya adalah ujian nasional,  harus pihak eksternal yang independen dan profesional agar tidak bias. Hal ini juga dijelaskan oleh  Greaney dan Kellaghan (2010: 25) bahwa asesmen nasional harus dilaksanakan oleh badan  yang kredibel agar hasilya bisa diterima masyarakat.  Badan yang kredibel tersebut di Indonesia adalah Badan Standar Nasonal Pendidikan (Pasal 67 dan Pasal 74  PP 19 2003), yaitu yang anggotanya terdiri atas ahli-ahli dalam psikometri, evaluasi pendidikan,  kurikulu, dan manajemen pendidikan  yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. Jadi apa yang ada pada Peraturan Pemerintah No 19 taahun 2003  sesuai dengan yang disarankan oleh Greaney dan Kellaghan
Ujian nasional merupakan salah satu bentuk asesmen formatif yang tujuannya untuk mengetahui pencapaian standar nasional pendidikan.  Kurikulum yang digunakan merupakan acuan dalam menyusun soal-soal ujian nasional. Hasil ujian nasional dapat dijadikan masukan  terhadap perbaikan proses pembelajaran di satuan pendidikan atau sekolah. Harapan terhadap ujian nasional adalah mendorong pendidik untuk selalu menyempurnakan strategi pembelajaran yang digunakan di kelas.   Penyemprunaaan atau perbaikan ini diharapkan akan meningkatkan prestasi belajar peserta didik baik pada aspek kognitif, psikomotor , dan afektif. Semua aspek ini penting dan harus dinilai untuk mengetahui pencapaiannya. Apakah harapan ini tercapai atau sesuai dengan kenyataan merupakan pertanyaan yang perlu dibahas dalam seminar ini.
Membahas harapan dan kenyataan terhadap ujian nasional perlu   disampaikan  prinsip ujian nasional dan perkembangan ujian akhir   yang dimulai sejak tahun 1950 hingga saat ini. Hal ini penting agar kita bisa  mengetahui apa yang  dilakukan  dan  yang dicapai pada setiap  perubahan kebijakan ujian nasional.


B.     Perkembangan Ujian Nasional
Harapan terhadap ujian nasioanl tidak saja untuk memberi informasi tentang keadaan pendidikan, tetapi juga akan memberi informasi untuk peningkatan prestasi belajar peserta didik (Greaney dan Kellaghan (2010: 9). Harapan ini akan tercapai apabila data yang diperoleh sahih (valid) dan andal (reliable). Dengan kata lain yang diuji adalah materi yang ada pada kurikulum dan hasilnya memiliki kesalahan pengukuran  yang sekecil mungkin.  Kesalahan pengukuran  ada yang bersifat acak dan  ada yang sistematik. Kesalahan yang bersifat acak disebabkan pada pemilihan bahan ujian dari sejumlah yang ada dan kondisi peserta ujian. Kesalahan sistematik bisa disebabkan karena soalnya mudah atau   sulit, dan   pelaksanaan tidak mengikuti pedoman. Misalnya kondisi ruangan, waktu ujian, kejujuran pengawas, dan kejujuran peserta ujian nasional dalam mengerjakan ujian nsional.  
Ada sejumlah tujuan dari asesmen yang bersifat nasional.  Asesmen nasional ingin memperoleh jawaban terhadap petanyaan berikut ini: (1)  Seberapa baik pembelajaran   peserta didik dalam suatu sistem pendidikan (harapan umum, tujuan kurikulum, persiapan untuk studi lanajut, dan persiapan untuk hidup)?,(2) apa bukti-bukti tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik pada bidang pengetahuan  dan keterampilan?, (3) apakah terdapat disparitas  pencapaian belajar peserta didik pada lokasi antara daerah urban dan rural,  kota dan desa,  daerah miskin  dan daerah yang kaya, pria dan wanita, dan perbedaan  bahasa lokal?,  (4) factor-faktor apa saja yang berkaitan dengan prestasi belajar peserta didik, dan sejauh mana lingkungan belajar peserta didik mempengaruhi prestasi yang dicapainya?, (5) apakah standar yang ditetapkan pemerintah telah  dicapai (buku tesks pelajaran, kualifikasi guru, kualifikasi input lainnya)?, (6) apakah prestasi belajar peserta didik berubah dari tahun ke tahun?  Untuk menjawab semua  pertanyaan ini diperlukan asesmen yang memberikan hasil yang bisa di bandingkan antar tempat, dan antar waktu (Kellaghan and Greaney 2001b, 2004).  Hal ini juga dinyatakan   pada penjelasan pasal 66 ayat (3) PP 19 tahun 2005) bahwa hasil ujian nasional dpat dibandingkan baik anta satuan pendididkan, antar daerah, maupun antar waktu untuk pemetaaan mutu pendidikan secara nasional.

Ujian akhir yang bersifat nasional dimulai sejak tahun 1950  yang dikenal dengan istilah ujian penghabisan. Soal ujian dirakit di kantor Direktorat di Jakarta, dan dikirim ke semua kota yang memiliki SMA/SMP (Benny Suparapto, 2000).   Pada akhir  tahun 1969 Ujian Negara diselenggarakan pada tingkat provinsi.    Evaluasi Belajar Tahap Akhir   (EBTA) mulai dilaksanakan  di sekolah-sekolah percobaan, yaitu di  IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, dan IKIP Malang dengan ketentuan bahwa  ijazah   yang dikeluarkan dihargai sama dengan ijazah negara. Pada tahun 1970, ujian negara diselenggarakan pada tingkat kebupaten, sementara EBTA diteruskan dan diperluas ke IKIP lainnya.
Untuk melaksanakan saran bahwa guru yang paling tahu  tentang kemampuan siswa dan “Ujian Penghabisan” hanya merupakan potret sesaat dan tidak mencerminkan kemampuan siswa selama  belajar di SMP atau  SMA, maka pada tahun 1971 semua ujian untuk semua tingkat dan jenis sekolah dilakukan sekolah masing-masing. Ketetapan ini tertuang dalam kurikulum SMP/SMA tahun 1975.     Kebebasan ini   mendorong sekolah  meluluskan semua siswanya. Hasilnya adalah nilai yang didapat dari satu sekolah tidak bisa dibandingkan dengan sekolah lain karena soal yang digunakan berbeda dan kemungkinan cara penilaiannya juga berbeda. Akibatnya siswa yang berasal dari sekolah yang kurang baik tidak bisa bersaing untuk masuk ke sekolah yang baik, walau memperoleh nilai yang sama dari hasil ujian akhir.  Jadi usaha peningkatan mutu dengan memberi wewenang penuh pada sekolah dalam menyelenggarakan ujian akhir tidak tecapai, karena nilai yang diperoleh sebagian siswa  tidak  menunjukkan  kemampuan yang sebenarnya.
Dalam kurikulum 1975, evaluasi hasil belajar  dilakukan secara berkelanjutan. Ada    evaluasi formatif dan evaluasi sumatif pada tiap akhir semester.  Evaluasi  sumatif pada semester 6 disebut dengan Evaluasi Tahap Akhir (EBTA). Pada sistem EBTA, setiap provinsi dan kabupaten menyusun dan menyelenggarakan sendiri ujian untuk sekolah-sekolah di wilayahnya serta menerbitkan  ijazah untuk siswa lulusannya. Kesemuanya itu  menjadi wewenang masing-masing sekolah menetapkan kelulusan. Pada sistem ini, ada sekolah yang “mempermudah”  kelulusan dan ada sekolah yang “mempersukar” kelulusan. Akibatnya rentang mutu pendidikan dari satu sekolah ke sekolah yang lain menjadi sangat lebar.
Acuan norma juga pernah digunakan pada kurikulum 1975 dalam menentukan kelulusan siswa. Penggunaan  acuan norma ini juga menuai protes, karena  dengan menggunakan  distribusi normal tentu tiap sekolah ada yang lulus dan ada yang tidak lulus, walau pada sekolah yang baik. Menurut asesmen guru siswa lulus tetapi setelah nilainya dikonversi ke distribusi normal siswa menjadi tidak lulus.
Selanjutnya untuk memperbaiki sitem evaluasi, evaluasi sumatif yang dikenal dengan EBTA diganti dengan EBTA yang menggunakan satu acuan nasional, yang selanjutnya diberi nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).        Pada EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh  hasil evaluasi sekolah pada semester 5 (P)  dan pada semester 6 (Q), dan hasil EBTANAS (R). Kelulusan siswa ditentutkan nilai yang diperoleh dengan menggunakan formula: (P + Q + nR)/(2 + n).  Harapan penggunaan formula ini adalah nilai n yang semakin lama semakin besar. Evaluasi  pelaksanaan EBTANAS (Djemari dkk, 1999) menyimpulkan  ada sejumlah sekolah menentukan nilai n tetap kecil dan cukup banyak sekolah yang menentukan nilai n setelah diperoleh hasil EBTANAS, dengan harapan agar banyak atau semua siswa lulus.   Tujuan penyelenggaran EBTANAS untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan nilai n dari tahun ke tahun tidak tercapai.
Sejauh ini hasil Ebtanas belum dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dalam lima tahun terakhir hasil NEM SLTP dan SMU menunjukkan angka yang fluktuatif, dengan rata-rata NEM bergerak antara 4,00 sampai 6,00, kecuali mata pelajaran PPKN dan bahasa Indonesia (Depdikbud, 1998)  Inipun karena pada saat itu ada ketentuan bahwa syarat lulus adalah  nilai PPKN dan bahasa Indonesia minimal 6,00. Informasi ini menunjukkan bahwa   penyelenggaraan Ebtanas belum memberi kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kualitas pendidikan.  
 Selanjutnya mulai tahun 2001,  EBTANAS berkembang menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pada UAN ada sepuluh mata pelajaran yang diujikan, tiga mata pelajaran disusun oleh pusat asesmen pendidikan  dan sisanya 7 tujuh mata pelajaran disusun oleh sekolah atau daerah.   Hasil evaluasi terhadap dampak UAN (Djemari dkk, 2004) menyimpulkan bahwa dampak positif UAN adalah sekolah berusaha meningkatkan kualitas  pembelajaran, semangat guru mengajar dan semangat siswa belajar  meningkat, perhatian  orang tua  terhadap  belajar anaknya meningkat. Dampak negatifnya adalah tingkat kecemasan guru dan siswa meningkat.    Kecemasan dalam batas tertentu diperlukan untuk  pendorong siswa belajar lebih baik, tetapi kalau terlalu tinggi bisa menjadi stress. Selanjutnya pada tahun 2005, sesuai dengan PP 19 tahun 2005, istilah UAN berkembang menjadi ujian  nasional (UN), yang penyelenggaraannya diserahkan ke badan independen, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Mulai tahun itu semua unsur tetap  melakukan  asesmen dan hasilnya digunakan untuk  menentukan  kelulusan dari satuan  pendidikan. Ada asesmen oleh guru, asesmen oleh sekolah dalam bentuk ujian sekolah, dan ada asesmen oleh pemerintah   dalam bentuk ujian   nasional. Pendidik melakukan asesmen komponen akhlak mulia, kepribadian dan kewarganegaraan, sekolah melakukan asesmen komponen estetika, pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan. Asesmen dilakukan dalam bentuk tes tertulis, tes perbuatan, dan pengamatan. Masing-masing nilai berdiri independen dalam menentukan kelulusan,  yaitu ada batas lulus  untuk tiap komponen penilaian. Kelulusan siswa dari satuan pendidikan ditentukan oleh nilai dari guru, nilai hasil ujian sekolah, dan nilai ujian nasional.   Ujian nasional telah mengalami banyak perkembangan.   Kululusan peserta didik   pernah ditentukan oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 2003 tentang  Stnadar Nasional Pendidikan hasil ujian nasional digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Penggunaan nilai Ebtanas murni  untuk seleksi masuk ke perguruan tinggi belum didukung oleh hasil penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Masoem (1997) tentang NEM dan nilai UMPTN  menyimpulkan bahwa: 1) peserta ujian yang memperoleh nilai UMPTN tinggi pasti memiliki NEM yang  tinggi, tetapi tidak sebaliknya, 2)  mereka yang memperoleh NEM rendah, juga akan memiliki  nilai UMPTN yang rendah, tetapi tidak sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan konsistensi antara NEM dan nilai UMPTN belum stabil, sehingga hal ini kemungkinan yang menjadi salah satu pertimbangan  NEM SMU belum digunakan untuk seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri. Untuk itu perlu ditingkatkan kredibilitas ujian nasional, proses dan hasilnya.
Untuk meningkatkan krebilitas ujian nasional, pada empat tahun terakhir, perguruan tinggi negeri melalui majelis  rektor diminta bantuannya untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ujian nasional di daerahnya masing-masing.
C.  Ujian Nasional  Saat ini 
Ujian nasioanal saat ini dimulai dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2003 tentagn Standar Nasional Pendidikan. Kualitas pendidikan dilihat dari kompetensi atau kemampuan lulusan dari satuan pendidikan  Kompetensi lulusan ditentukan oleh kualitas pembelajaran  yang terjadi di sekolah.  Pembelajaran aspek kognitif, psikomotor dan afektif berlangsung di kelas dan di luar kelas di sekolah. Kualitas pembelajaran di kelas ditentukan   terutama oleh kemampuan dan motivasi guru mengajar.  Guru yang baik tentu   mampu membawa peserta didik  untuk mencapai standar kompetensi minimum. Bagaimana proses pembelajaran terjadi di kelas,   yang tahu adalah guru dan siswa. Apakah proses pembelajaran di kelas berlangsung secara efisien dan efektif, yang tahu adalah guru. Untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas pembelajaran di kelas, maka diperlukan suatu bukti. Bukti ini diperoleh melalui kegiatan asesmen.
Asesmen memerlukan data yang diperoleh melalui ujian dan pengamatan. Data tentang aspek pengetahuan dan ketampilan diperoleh melalui ujian baik tertulis maupun praktek. Data tentang aspek afektif peserta didik diperoleh melalui pengamatan, walau ada bagian yang bisa  diuji secara tertulis.  Data ini harus sahih (valid), andal (reliable)   dan  komparabel. Sahih  berarti materi yang diujikan  adalah yang telah diajarkan, konsisten berarti kesalahan pengukuran dalam batas yang diperkenankan, dan komparabel artinya hasil ujian dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu waktu ke waktu yang  lain bisa dibandingkan. Hal ini juga dijelaskan oleh Nitko dan Brookhart (2007:380), bahwa penggunaan tes standar akan memberikan hasil yang bisa dibandingkan antar tempat. Untuk itu spesikasi tes  yang di dalamnya ada kisi-kisi tes harus sama. 

Sejak diterapkan ujian nasional, muncul beberapa kritik dan saran terhadap       ujian nasional.   Semua setuju  adanya  standar kompetensi lulusan dan sebagian besar setuju dengan ujian nasional. Namun ada beberapa saran yang diajukan, yaitu: (1)  Ujian nasional  jalan terus dengan beberapa perbaikan untuk mendorong guru  mengajar, mendorong siswa belajar dan untuk kesatuan bangsa, (2) Ujian nasional dilaksanakan apabila semua standar pendidikan sudah dipenuhi, (3) Hasil ujian nasional hanya digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan saja, bukan untuk menentukan kelulusan  dari satuan pendidikan, (4)   Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditentukan oleh sekolah atau  guru saja.
Berdaarkan  masukan dari legislatif dan masyarakat kriteria kelulusan ujian nasional untuk tahuan peljaran 2010/2011 dan untuk tahun ini juga sama.  Sekolah melaksanakan ujian sekolah yang soalnya dibuat oleh sekolah. Hasil ujian sekolah digabung dengan nilai  rata-rata rapor dengan bobot: nilai ujian sekolah 60 % dan nilai rata-rata rapor 40 %. Nilai gabungan ini selanjutnya disebut dengan nilai sekolah (NS).  Selanjutnya nilai sekolah digabung dengan niali ujian nasional menjdi nilai akhir (NA) dengan formula: 60 % nilai UN dan 40 % nilai sekolah.  Peserta didik dinyatakan lulus dari ujian nasional bila memiliki rata-rata nilai akhir palign rendah 5,0 dan nilai pada tiap mata pelajaran paling rendah 4,0.  Kriteria kelulusan ini tampak disambut baik oleh masyarakat. Kriteria ini tdiak menimbulkan kecemasanpada pendidk dan peserta didik karena adanya nilais ekolah yagn digabung untuk menentukan kelulusan dari ujian nasional. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan tetap ditentukan oleh sekolah melalui rapat dewan guru dengan memperhatikan akhlak mulia peserta didik.
Ujian nasional pada dasarnya bertujuan untuk mendorong peningkatan kompetensi guru,  mendorong guru agar melaksanakan pembelajaran dengan  baik, dan  menggunakan sistem asesmen yang  tepat. Apabila kompetensi minimal  guru telah tercapai,   proses pembelajaran dan asesmen di kelas telah dilaksanakan sesuai dengan standar, maka  tidak ada kekhawatiran terhadap ujian nasional.
Kondisi saat ini, sekolah/madrasah   dapat diklasifikasi sebagai sekolah standar, sekolah mandiri, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Sekolah yang termasuk kategori mandiri, RSBI, dan SBI sudah  tidak menghadapi masalah tentang kompetensi guru. Oleh karena itu apabila    pada sekolah-sekolah ini ditagih bukti tingkat pencapaian kompetensi lulusannya    melalui ujian nasional sebenarnya sudah tidak masalah. Namun kenyataannya, ada sekolah kategori mandiri dan rintisan internasional yang belum berani melaksanakan ujian nasional secara jujur.
Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan ujian nasional, yang   menekankan pada kejujuran, tampaknya sudah ada perubahan, namun belum seperti yang diharapkan. Fakta kejujuran yang telah ditandatangi dinas pendidikan provinsi belum dilaksanakan  oleh semua sekolah. Semua daerah ingin kelulusan dan prestasi yang dicapai  sekolah meningkat, namun cara yang ditempuh bermacam-macam, ada  yang positif    mendorong sekolah untuk mencapainya dengan jujur, namun ada  pula yang kejujurannya dipertanyakan. 
 Hampir semua sekolah menambah jam pelajaran, ada yang mandiri, ada yang menggunakan lembaga bimbingan belajar, dan ada yang menggunakan tim suksesi. Strategi yang ditempuh tim suksesi juga macam-macam, ada yang positif dan ada yang negatif. Kepatuhan provinsi dalam melaksanakan fakta kejujuran tergantung pada pimpinan daerah, kepala dinas, dan kepala sekolah. Otonomi pada bidang pendidikan menempatkan sekolah di bawah  kabupaten/kota. Sekolah harus tunduk pada kepala dinas, dan kepala dinas harus patuh pada pimpinan daerah. Oleh karena itu fakta kejujuran yang sudah menjadi  tekad pemerintah dan BSNP  belum  sepenuhnya.  dilaksanakan, apabila tidak ada dukungan dari daerah. Untuk itu perlu komitmen dan dukungan dari pimpinan daerah terhadap pelaksanaan ujian nasional  yang jujur.
Permasalahan yang dihadapi pada setiap ujian nasional adalah kualitas  percetakan  dan pengawasan di ruang ujian. Kalau percetakan yang mencetak  bahan ujian nasional dipilih sesuai dengan kriteria minimum yang telah ditetapkan, bukan asal murah,  sehingga proses   pencetakan bahan ujian mengikuti prosedur operasi standar, maka dapat diharapkan tidak akan ada kekurangan soal, kesalahan cover soal,   kerusakan LJUN, dan kebocoran soal.  
 Pengawas ruang ujian   di setiap sekolah/madrasah   adalah guru yang berasal dari beberapa sekolah/madrash     diharapkan akan lebih tertib dalam  melaksanakan pengawasan di ruang ujian.  Namun kenyataan lapangan masih ada guru yang tertib, tetapi  tetap ada yang fleksibel, membiarkan peserta ujian nasional bekerjasama dan membawa HP di ruang ujian.   Setiap guru ingin anak didiknya semua lulus, sehingga  pengawas ruang ujian    melaksanakan pengawasan di ruang ujian secara fleksibel. Apabila pengawas ruang ujian  adalah guru dan pihak  eksternal yang independen   memiliki komitmen,  dan jujur maka dapat diharapkan   ujian nasional akan memberikan hasil yang kredibel, akurat, dan bisa dipercaya.       

D.   Harapan dan Kenyataan 
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa harapan terhadap ujian nasional, seperti berikut ini. 
1.      Semua satuan pendidikan menyelenggarakan ujian nasional sesuai dengan Prosedur Operasi Stándar (POS) Ujian Nasional dengan jujur, sehinga data yang diperoleh sahih.
2.      Semua guru memiliki kompetensi sebagai  tenaga pendidik.
3.      Hasil analisis daya serap sudah diterima di semua sekolah
4.      Semua sekolah menindak lanjuti hasil análisis ujian nasional, daya serap.
5.      Perusahaan percetakan yang terpilih mencetak naskah soal ujian   melaksanakan tugas pencetakan sesuai denan ketentuan  seperti pada POS UN
6.      Ujian nasional mendorong peningkatan mutu pendidikan.
7.      Ujian nasional menghasilkan informasi tentang pencapaian  kompetensi peserta didik.
8.      Pemetaan kualitas satuan  pendidikan.
9.      Hasil ujian nasional digunakan untuk seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
10.       Pemerintah daerah mendorong satuan pendidikan untuk melaksanakan ujian nasional yang kredibel.
Berdasarkan pengalaman menyelenggarakan ujian nasional dan pengamatan terhadap pelaksanaan ujian nasional di satuan pendidikan selama ini, kenyataan   yang ada adalah sebagai berikut.
1.        Pelaksanaan ujian nasional di beberapa satuan pendidikan  tidak mengikuti POS UN.   
2.        Kompetensi beberapa guru yang mengampu mata pelajaran  yang diujikan secara nasional belum memadai, diantaranya tugas mengajar tidak sesuai  dengan  latar belakang pendidikannya.
3.        Ada sejumlah satuan pendidikan melaksanakan  ujian nasional   tidak mengikuti POS UN. 
4.        Belum semua sekolah menerima hasil analisis soal ujian nasional.
5.        Belum semua sekolah yang menerima hasil análisis ujian nasional, benar-benar menindak lanjuti, karena kurang dorongan dari kepala sekolah. 
6.        Ada sejumlah perusahaan percetakan yang terpilih mencetak naskah ujian nasional belum memenuhi kriteria yang ditetapkan BSNP.
7.        Prosedur pencetakan naskah ujian nasional pada sebagian percetakan tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan BSNP.
8.        Pengawasan di ruang ujian pada sebagian satuan pendidikan penyelenggara ujian nsional tidak mematuhi POS UN.
9.       Dampak ujian nasional terhadap peningkatan mutu pendidikan pada banyak sekolah cukup signifikan, tetapi pada beberapa sekolah tidak signifikan..
10.   Hasil ujian nasional telah digunakan dalam menyusun peta kualitas sekolah.
11.  Informasi tentang pencapai kompetensi peserta didik telah diperoleh.
12.  Pada jenjang pendikan dasar dan menengah hsil ujian nasional telah digunaan untuk seleksi, tetapi untuk perguruan tinggi negeri baru sebagian kecil saja yang telah menggunakan hasil ujian nasional untuk seleksi masuk.
13.  Ada sejumlah pemerintah daerah yang mendorong satuan pendidikan untuk melaksanakan ujian nasional secara jujur sesuai dengan POS UN, namun  beberapa daerah belum tegas mendorong.

Berdasarkan harapan dan kenyataan di atas diajukan beberapa saran untuk penyempurnaan pelaksanaan ujian nasional, seperti berikut ini.
1.      Perlu dilakukan survei terhadap kesesuaian latar belakang pendidikan dan pelatihan guru  dengan tugas mengajarnya.
2.      Perlu ada komitmen dari pemerintah daerah, dinas pendidikan dan kebudayaan, kepala sekolah, dan guru melaksanakan ujian nsional secara jujur.
3.      Kepala sekolah mendorong semua guru untuk menindak lanjuti  hasil análisis hasil ujian nasional.
4.      Pemerintah daerah dan pusat memanfaatkan hasil ujian nasional untuk pembinaan kompetensi guru.
5.      Sistem lelang bebas penentuan perusahaan percetakan sebaiknya diperbaiki, karena naskah ujian nasional bersifat rahasia, sehingga kriteria yang ditetapkan BSNP dipatuhi.
6.      Perguruan tinggi diberi wewenang melakukan koordinasi pengawasan pelaksanaan ujian nasional, mulai dari penyusunan soal, pencetaan bahan ujian nasional, pelaksanaan ujian nasional di satuan pendidikan dan di ruang ujian, khsusunya untuk UN SMA, MA, fdan SMK.
7.      Perlu dukungan dari masyarakat termasuk mass media untuk membangun kejujuran dalam melaksanakan ujian nasional
8.      Perlu dibangun  kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri termasuk pimpinan daerah agar ada jaminan pelaksanaan ujian nasional berjalan dengan tertib dan jujur.

Demikianlah beberapa pemikiran untuk membangun ujian nasional yang kredibel, sehingga hasilnya dipercaya dan tindak lanjutnya bisa tepat sasaran.




   

 Bahan Bacaan

Kellaghan, T., and  V. Greaney. (2001). Using assessment to improve the quality of education. Paris: International Institute for Educational Planning.
Greaney, V, and    Kellaghan, T. (2008).  National assessments of educational achievement: Assessing National Achievement Levels in Education. Washington, DC: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
Nitko, Antoni, J., Brookhart, Susan. M. ( 2007). Educational assessment for students. New Jersey: Merill Prentice Hall.
Pollard  Andrew (Edited). Readings for reflective teaching, London: Continuous International  Publishing Group.
Jordan Anne., Carlile, Orison., & Stack Annetta. (2009).  Approaches for learning.: A guide for teachers. London: Mc Graw Hill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar